Gagasan penyederhanaan partai benar-benar diterapkan Soeharto. Partai-partai Islam pun kena imbasnya.
Pada hari yang sama, lembaga yang diketuai Abdul Haris Nasution itu memberikan Soeharto kewenangan untuk membentuk kabinet. Dua pekan sebelumnya, MPRS menguatkan posisi Soeharto sebagai pengemban Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) melalui Ketetapan MPRS Nomor IX/1966 sekaligus mencabut gelar Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Kemelut kepemimpinan yang terjadi setelah G30S ini kemudian dimenangkan Soeharto.
Penyederhanaan organisasi politik dinilai sebagai jawaban atas ketidakstabilan politik Indonesia yang berlangsung pada 1950-an. Herbert Feith menuliskan dalam Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962) bahwa demokrasi parlementer dengan sistem multipartai dianggap sebagai suatu kegagalan dan banyak orang menganggapnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Satu kelemahannya tampak dari seringnya kabinet dibongkar pasang karena tidak mampu mengatasi tekanan politik yang dilancarkan partai-partai. Dari 1950 hingga 1959, kabinet berganti sebanyak tujuh kali. Alhasil, dukungan masyarakat kepada sistem demokrasi parlementer pun turun.
Guna memecah kebuntuan, Sukarno menerapkan Demokrasi Terpimpin sejak 1959. Pada 1960, partai dipangkas: dari 40 jadi 12, kemudian 10. Pada tahun yang sama, Masyumi dan PSI dibubarkan karena terlibat pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Ketiadaan Masyumi membuat penyuaraan aspirasi kelompok Islam lewat partai berkurang. Partai berhaluan Islam yang tersisa saat itu tinggal Nahdlatul Ulama (NU), Pergerakan Tarbiah Islam (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Anasir Masyumi mereorganisasi diri pada 1968 dengan membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Empat partai Islam ini yang kemudian ikut pemilu perdana di era Orde Baru pada 1971.
Sedangkan pada 1964 pelbagai organisasi golongan fungsional memutuskan membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Golongan ini meliputi bermacam kelompok. Mereka dibagi bukan atas dasar pandangan politik, tetapi berdasarkan fungsi kekaryaannya dalam masyarakat; misal golongan buruh, guru, tani, atau pemuda.
David Reeve menuliskan gagasan pembentukan Sekber Golkar dalam Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran, dan Dinamika (2013). Lacakan Reeve menemukan Sukarno dan Abdul Haris Nasution ialah dua tokoh yang mendorong golongan fungsional aktif dalam perpolitikan Indonesia untuk menekan manuver partai. Golkar kemudian ikut Pemilu 1971.
Dua konsep itu—penyederhanaan partai (fusi) dan golongan fungsional—memang digagas Sukarno. Namun, orang yang paling menikmati dan memanfaatkannya ialah Soeharto setelah resmi menjabat presiden pada 1967. Sementara yang paling kena batunya adalah partai politik.
Kala Orde Baru Berkehendak
Seminar Angkatan Darat (AD) ke-2 pada 1966 menghasilkan usulan penyederhanaan partai ke dalam 5 golongan: Islam, Kristen-Katolik, Nasionalis, Sosialis Pancasila, dan Golkar yang tidak berafiliasi. Sedangkan pada Mei 1967, Soeharto secara terbuka mengusulkan fusi partai-partai.Keinginan Soeharto untuk memberlakukan kebijakan fusi partai lagi-lagi dia kemukakan dalam sebuah pidato di Kongres XII Partai Nasional Indonesia (PNI), 11 April 1970. Dia mengatakan, Indonesia memiliki partai yang terlampau banyak sebelum 1959.
"Saya kira, sistem ‘satu partai’ bukan pilihan yang baik. Tetapi sebaliknya terlalu banyak partai-partai menyulitkan diri kita sendiri," kata Soeharto.
Ketua Umum PBNU Idham Chalid, sebagaimana dicatat Kompas edisi 27 Oktober 1966, menolak usulan itu. Dia bilang NU tidak pernah berangan-angan untuk memfusikan diri dengan partai-partai Islam lainnya, tapi tidak menolak bekerjasama dengan mereka. Baginya, tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat membubarkan partai NU kecuali Allah.
Untuk menenangkan petinggi partai, pada 1968 Soeharto mengatakan tidak ada satu partai pun yang dilarang. Kemudian, dia mengusulkan sembilan partai bergabung jadi dua kelompok; yang satu menekankan pembangunan materiel, yang satu menekankan pembangunan spiritual. Namun, usulan itu ditentang.
Menurut Andre Feillard dalam NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (1999), tekanan Soeharto agar partai-partai melakukan fusi baru bertaji setelah Pemilu 1971. Pada Pemilu tersebut, suara partai melempem. Sebaliknya, Golkar menang telak.
Golkar memperoleh suara sebesar 62,8 persen. Sedangkan dari empat partai Islam, hanya NU yang dapat suara lebih dari 10 persen, yakni 18,6 persen. Parmusi mengantongi 5,36 persen suara. Sementara PSII mendapat 2,39 persen suara, Perti bertengger di posisi ke-7 dengan suara sebesar 0,69 persen.
"Pemerintah menghadapkan partai-partai pada sebuah fait accompli yang menyatakan mulai saat itu DPR dibagi menjadi empat kelompok: Angkatan Bersenjata, Golkar, golongan demokrasi pembangunan, dan golongan persatuan pembangunan," ujar Feillard.
Empat partai berhaluan Islam dimasukkan ke Kelompok Persatuan Pembangunan. Total kursi yang dimiliki kelompok ini sebanyak 94. Sebagian besar (58 kursi) di antaranya disumbang NU. Namun, saat itu, partai-partai Islam belum berfusi, hanya membentuk konfederasi saja.
Intervensi Dulu, Fusi Kemudian
Setelah Pemilu 1971, NU menyelenggarakan Muktamar ke-25. Hasil Muktamar itu menolak fusi karena khawatir dalam koalisi baru yang terbentuk kelak, suara NU berkurang. Selain itu, Muktamar memilih petahana Idham Chalid untuk menjabat lagi Ketua Umum PBNU. Idham mengalahkan seorang kader NU yang lantang mengkritik kebijakan nir-demokratis Orde Baru, Subchan Z.E. Martin van Bruinessen menuliskan dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) bahwa karakter Idham fleksibel dan piawai mempertahankan posisi. Orde Baru menyadari Idham adalah pemimpin NU yang dapat diajak bekerjasama dengan senang hati.
Bruinessen menyebut Ali Murtopo melakukan intervensi beberapa kali supaya Idham menang dalam persaingan dengan tokoh-tokoh yang kurang lunak. Kata Bruinessen pula, "Sebagaimana dikemukakan banyak sumber, hanya karena campur tangan di balik layarnya Ali Murtopo, sehingga Subchan pada waktu itu gagal terpilih menjadi ketua umum menggantikan Idham."
Parmusi, Perti, dan PSII juga tidak bebas dari intervensi atau pertikaian internal. Pemerintah tidak memberi restu kepada Mohammad Roem yang terpilih sebagai ketua umum Parmusi melalui Kongres ke-1 di Malang pada 1968. Sedangkan kepengurusan PSII hasil Muktamar 1971 di Majalaya dikudeta.
Roem dulu aktif di Masyumi. Sedangkan H.M.Ch. Ibrahim (Presiden Lajnah Tanfidziah PSII), H. Wartomo Dwidjojuwono (Sekretaris Jenderal LT PSII), dan H. Bustaman (Ketua Dewan Pusat PSII) kritis terhadap pemerintah dan menolak fusi partai-partai Islam.
Dari kacamata politik militer, sebagaimana ditulis Fachry Ali dan Iqbal Abdurrauf Saimima dalam "Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan" yang dimuat di Prisma edisi Desember 1981, pengurus Masyumi dianggap pernah melakukan kekeliruan. Karena itu, komposisi pengurus Parmusi ditolak pemerintah. SK Presiden 70/1968 mengesahkan berdirinya Parmusi yang dipimpin Djarnawi dan Lukman Harun.
Intervensi itu tidak mengurangi semangat menghidupkan Masyumi lewat Parmusi. Itu malah bikin relasi Parmusi dan pemerintah menegang. Akhirnya, Djaelani Naro, orang yang dikenal dekat Ali Murtopo, dan Imran Kadir bersiasat. Mereka menyatakan pimpinan Parmusi menentang ABRI. Keduanya mengangkat diri sebagai formatur untuk pimpinan baru.
"Dalam kemelut itu, pemerintah tanggal 20 November 1970 mengeluarkan Surat Keputusan No. 77/1970 untuk mengubah pimpinan Parmusi dan menunjuk HM Mintaredja sebagai ketua umum baru," sebut Fachry dan Iqbal.
Situasi di PSII juga tak kalah pelik. Pengudeta kepengurusan Ibrahim-Bustaman yang dipimpin Anwar Tjokroaminoto dan Th. Gobel beralasan ingin menyelamatkan partai. Gobel mengatakan PSII akan dibubarkan pemerintah apabila tidak setuju fusi. Mereka mendirikan DPP tandingan yang diketuai Anwar. Setelah Anwar meninggal, posisinya digantikan Gobel.
"Setelah peristiwa kudeta memang ada semacam kekhawatiran pimpinan PSII hasil pilihan MT ke-33 bahwa pemerintah melalui pernyataan-pernyataan para pejabatanya seperti Ali Murtopo kelihatannya lebih condong mengakui kepemimpinan kelompok Gobel dan Anwar Tjokroaminoto," sebut Valina Singka Subekti dalam Partai Syarikat Islam Indonesia: Kontestasi Politik hingga Konflik (2014).
Sementara itu, Perti memang tidak pernah masuk Masyumi. Namun, pada 1 November 1965, pimpinannya, Kiai Sirajuddin Abbas, dipecat karena dituding cenderung memihak PKI dan Sukarno. Perti kemudian dipimpin H.A. Rahman sebagai ketua umum dan Anwar Sulaiman sebagai sekretaris umum. Kepengurusan Perti lalu dipegang Rusli Khalil dan Judo Paripurno. Sementara Sirajuddin masuk Golkar.
Infografik Mozaik Partai Persatuan Pembangunan
Fusi Setengah Hati
Pada Oktober 1972, empat partai Islam bersepakat memakai satu bendera saja dalam pemilu berikutnya. Menanggapi hasil itu, Soeharto menganjurkan partai-partai Islam sebaiknya telah punya satu wadah sebelum pemilu dilaksanakan. Dia juga mengatakan wadah itu sepatutnya tidak memakai nama yang berbau ideologis, misalnya "Kelompok Persatuan Islam".Mintaredja menerima masukan Soeharto. Tapi, dia juga minta Kelompok Demokrasi Pembangunan tidak menonjolkan "Demokrasi"-nya sebab bisa menimbulkan salah pengertian bahwa kelompok lain kurang demokratis.
Pada 5 Januari 1973, tepat hari ini 46 tahun lalu, empat partai Islam mendeklarasikan berfusi sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Parmusi besutan Mintaredja dan Perti memang telah menyetujui fusi sebelumnya sehinga penandatangan deklarasi tidak ada hambatan. Sedangkan PSII masih diwarnai kemelut karena kudeta besutan Anwar dan Gobel terjadi 13 hari sebelumnya. Untuk mengatasi itu, Mintaredja menyodorkan dua naskah deklarasi ke kedua kubu. Namun, hanya deklarasi yang ditandatangani Anwar yang kemudian dinyatakan sah.
Sementara itu, Bruinessen menyebut penggabungan NU ke PPP muncul sebagai kenyataan yang harus diterima politisi NU. "Idham Chalid dan kawan-kawan terdekatnya langsung menerima campur tangan yang sangat jauh ini tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan anggota PBNU lainnya," sebut Bruinessen.
No comments:
Post a Comment