Pages

Monday, October 8, 2018

Gempa Palu Berpotensi Menimbulkan Konflik Agraria dan Sosial

MAKASSAR, TRIBUN – Pemerintah daerah dan otoritas keagrariaan (Agraria dan Tata Ruang) / Badan Pertanahan Negara (BPN) di Sulawesi Tengah, diingatkan untuk mulai mewaspadai potensi konflik sosial dan hukum keperdataan di masa rekonstruksi pasca-bencana di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi.

Setelah masa Tanggap Darurat dan transisi ke pemulihan pasca-gempa, otoritas agraria dan aparat pemerintah bidang pertanahan, akan muncul masalah baru di bidang hukum dan hak kepemilikan lahan.

Kondisi tenda para pengungsi gempa dan Tsunami yang terkam menggunakan kamera drone Tribun Timur di Lapangan Watulemo depan kantor Wali Kota Palu, Sulteng, Sabtu (6/10). Pasca seminggu gempa dan Tsunami Palu, para pengungsi tersebut masih mengeluhka air mimeral karena harus menyetor KTP atau kartu KK untuk mendapatkannya.
Kondisi tenda para pengungsi gempa dan Tsunami yang terkam menggunakan kamera drone Tribun Timur di Lapangan Watulemo depan kantor Wali Kota Palu, Sulteng, Sabtu (6/10). Pasca seminggu gempa dan Tsunami Palu, para pengungsi tersebut masih mengeluhka air mimeral karena harus menyetor KTP atau kartu KK untuk mendapatkannya. (sanovra/tribuntimur.com)

“Meski ini hanya masalah administrasi hukum, jika pemerintah tak tanggap maka ini berpotensi jadi masalah sosial,” kata pakar hukum Tata Negara dan sosial UIN Alauddin Makassar Dr Syamsuddin ‘Olleng’ Radjab SH, MH, saat dimintai tanggapan terkait dampak gempa dan likuefaksi tanah di kawasan Palu Barat, Petobo, Belaroa, dan Biromaru, Sigi, Senin (8/10/2018).

Olleng yang awal 2000-an menjadi Tim Advokasi Konflik Sosial di Poso, Sulawesi Tengah, ini melihat, potensi itu bisa muncul karena pemerintah tak tanggap dengan masalah administrasi hukum.

“Bergesernya tanah pemukiman warga di Petobo dari batas-batas administrasi tanah, pasca-likuefaksi, ini akan jadi masalah hukum kepemilikan, jika pendataan jumlah korban, batas hak tanah tidak dilakukan pasca-masa pemulihan,” kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI, 2007-2010) ini.

Baca: Delapan Hari Pascagempa, Yonif Para Raider 431/SSP Kostrad Evakuasi 20 Mayat di Petobo

Dia menyarankan, di masa transisi pemulihan menuju masa rekonstruksi yang diperkirakan akan dimulai awal tahun 2019, instansi dan aparatur pemerintah mulai aktif mendata identitas korban, baik yang meninggal dunia, hilang, atau masih di pengungsian.

Dokumen dari hasil pendataan inilah yang akan disinkronisasi dengan dokumen kepemilikan lahan baik secara individu, yayasan, maupun badan hukum atau usaha.

“Bayangkan kalau pemilik lahan itu meninggal semua. Dokumen dan identitasnya semua terkubur, sementara secara faktual batas-batas lahan sudah bergeser karena gempa dan likuefaksi,” ujarnya.

Secara teknis, doktor ilmu hukum dari Universitas Padjajaran Bandung ini, meminta pemerintah segara membuka posko pengaduan khusus.

Baca: 13 Kepala Keluarga Terendam Lumpur di Petobo Palu Belum Tertolong

Dia menyarankan pemerintah proaktif dalam pendataan pasca-bencana.

Let's block ads! (Why?)

http://makassar.tribunnews.com/2018/10/08/gempa-palu-berpotensi-menimbulkan-konflik-agraria-dan-sosialhttps://desimpul.blogspot.com/2018/10/gempa-palu-berpotensi-menimbulkan.html

No comments:

Post a Comment