India mendeportasi tujuh pengungsi Muslim Rohingya pada Kamis (4/10), yang memicu kecaman dari PBB. Presiden India telah berulang kali menegaskan akan mengusir para imigran ilegal, bahkan menyamakan mereka dengan rayap. Memaksa orang-orang Rohingya untuk kembali ke Myanmar dapat menjadi kejahatan penghilangan paksa—kejahatan menurut hukum internasional—menurut E. Tendayi Achiume, seorang ahli hak asasi manusia PBB, dalam sebuah pernyataan.
Oleh: The Washington Post/South China Morning Post
India mendeportasi tujuh Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar, untuk dikembalikan ke negara mereka pada Kamis (4/10), yang memicu kekhawatiran bahwa langkah itu dapat membahayakan hidup mereka dan melanggar hukum internasional yang melindungi pengungsi.
Keputusan itu muncul ketika Bharatiya Janata Party (BJP) yang berkuasa di India telah meningkatkan serangan retoriknya terhadap para imigran yang telah memasuki negara itu secara ilegal. Presiden yang berkuasa, Amit Shah, telah berulang kali berjanji untuk mendeportasi semua imigran tersebut, dan menggambarkan mereka sebagai ancaman keamanan. Pada rapat umum di bulan September, dia menyamakan mereka dengan “rayap.”
Deportasi tersebut juga terjadi seiring negara bagian Assam di timur laut—di mana ketujuh orang itu dipenjarakan sejak 2012—meningkatkan upaya untuk mengidentifikasi dan mendeportasi imigran gelap.
“Jika seseorang memasuki negara ini secara ilegal, kami akan mengirim mereka kembali,” kata Bharat Bhushan Babu, juru bicara Kementerian Dalam Negeri India. Ketika ditanya apakah itu diterapkan pada orang yang melarikan diri dari kekerasan di negara asal mereka, dia berkata: “Ini berlaku untuk semua orang.”
Komunitas Rohingya adalah minoritas Muslim yang telah menghadapi penganiayaan dan kekerasan berulang di Myanmar, yang didominasi umat Buddha.
Memaksa orang-orang Rohingya untuk kembali ke Myanmar dapat menjadi kejahatan penghilangan paksa—kejahatan menurut hukum internasional—menurut E. Tendayi Achiume, seorang ahli hak asasi manusia PBB, dalam sebuah pernyataan.
Baca Juga: Pasukan India Tembak Helikopter Pakistan di Kashmir
“Pemerintah India memiliki kewajiban hukum internasional untuk sepenuhnya mengakui diskriminasi, penganiayaan, kebencian, dan pelanggaran hak asasi manusia berat yang dialami oleh orang-orang ini di negara asal mereka, dan memberi mereka perlindungan yang diperlukan,” kata pernyataan itu.
Achiume juga menyuarakan keprihatinan tentang penahanan mereka yang diperpanjang di India, dan kegagalan India untuk memberi mereka pengacara hukum yang memadai.
Eksodus oleh lebih dari 700 ribu Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh pada tahun 2017, menarik perhatian dunia terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Myanmar terhadap minoritas Muslimnya—PBB pun telah menyebutnya sebagai genosida.
Pemerintah Myanmar telah berulang kali membantah tuduhan itu, menuduh komunitas Rohingya membakar desa mereka sendiri secara terang-terangan untuk menarik simpati dunia.
Sebanyak 40 ribu pengungsi Rohingya diperkirakan berada di India, meskipun hanya 18 ribu yang terdaftar di Komisaris Tinggi untuk Pengungsi (UNHCR) milik PBB. Banyak pengungsi Rohingya di India datang sebelum gelombang kekerasan terbaru di tahun 2017. Sebuah pernyataan dari UNHCR mengatakan bahwa tujuh pria yang dideportasi pada Kamis (4/10) tidak terdaftar di lembaga pengungsi.
Pada Selasa (2/10), Menteri Dalam Negeri India mengatakan bahwa pemerintah telah meminta negara untuk mulai mengumpulkan biometrik Rohingya agar mereka dapat dikirim kembali ke Myanmar.
Di bawah tekanan internasional yang meningkat untuk memungkinkan para pengungsi Rohingya kembali, pemerintah Myanmar telah mengeluarkan pemberitahuan yang dipublikasi di media sosial, yang katanya menunjukkan segelintir Rohingya kembali ke rumah mereka dan menerima pasokan dari pemerintah.
Menurut pejabat yang memberi penjelasan kepada The Washington Post pada perjalanan media baru-baru ini ke negara bagian Rakhine, dua keluarga telah dimukimkan kembali. Namun para ahli telah meragukan keaslian mereka, di mana laporan berita dan penduduk setempat di negara bagian Rakhine mengatakan bahwa pemulangan itu dipentaskan.
Pernyataan PBB juga mengatakan bahwa kondisi di Myanmar tidak “kondusif untuk pemulangan yang aman, bermartabat, dan berkelanjutan untuk Rohingya.”
Baca Juga: Dituduh Korupsi Pembelian Jet Tempur, Perdana Menteri India Didesak Mundur
“Orang-orang ini harus diizinkan untuk membuat keputusan tentang kepulangan mereka kembali ke Myanmar dalam kondisi saat ini dan/atau mengakses hak mereka untuk mencari suaka yang aman,” kata pernyataan itu.
Bhaskar Jyoti Mahanta—seorang perwira polisi senior dari negara bagian Assam—mengatakan bahwa polisi tidak mempertimbangkan latar belakang etnis atau agama Rohingya ketika mendeportasi mereka.
“Saya tidak peduli jika mereka adalah Rohingya atau Muslim atau Hindu atau Kristen. Kami tidak terganggu oleh kasta dan keyakinan. Kami merasa terganggu dengan hukum,” katanya.
Orang-orang itu berasal dari kota Kyauk Daw di pusat Rakhine. Mereka awalnya ditangkap dan dipenjarakan di penjara pusat Silchar di Assam pada tahun 2012, karena dituduh masuk secara tidak teratur, menurut Kementerian Urusan Luar Negeri India.
Kementerian itu mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa pemerintah Myanmar telah mengidentifikasi tujuh orang itu sebagai “penduduk” Myanmar, dan memberikan “Sertifikat Identitas untuk memfasilitasi perjalanan orang-orang ini ke kampung halaman mereka di negara bagian Rakhine.”
Pernyataan itu mengatakan bahwa orang-orang ini telah meminta dipulangkan pada tahun 2016, dan bahwa kementerian tersebut pada Rabu (3/10) telah mengkonfirmasi “kesediaan mereka untuk dipulangkan.”
Kewarganegaraan penuh—dan bukan “tempat tinggal” atau “sertifikat identitas”—telah menjadi salah satu tuntutan utama aktivis Rohingya yang mencari repatriasi.
Para pemimpin Rohingya mengatakan bahwa penolakan Myanmar untuk mengakui sejarah panjang Rohingya di negara itu adalah alasan utama atas diskriminasi terhadap mereka. Rohingya sering salah diistilahkan sebagai imigran gelap dari Bangladesh, dan disebut sebagai “Bengali”—yang mencopot hak-hak mereka sebagai warga negara yang setara di Myanmar.
Pengacara hak asasi manusia Prashant Bhushan, sebelumnya mendesak Mahkamah Agung India untuk menghentikan deportasi, atau setidaknya mengizinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk berbicara dengan orang-orang yang dideportasi untuk memastikan bahwa mereka mengetahui risiko kembali ke Myanmar. Pada Kamis (4/10), Ranjan Gogoi, kepala pengadilan India, mengatakan bahwa pengadilan tidak akan mengubah deportasi itu.
Assam—di mana ketujuh orang itu ditangkap—telah melakukan upaya besar untuk “mendeteksi-menghapus-mendeportasi” imigran ilegal dalam beberapa tahun terakhir. Negara tersebut memiliki perbatasan yang panjang dengan Bangladesh, dan arus migrasi yang besar disebut-sebut mengancam pekerjaan dan budaya Assam.
Pada bulan Juli, negara bagian Assam merilis daftar warganya, tetapi tidak memasukkan empat juta orang. Banyak orang—terutama warga Muslim yang tidak masuk daftar tersebut—takut itu bisa menyebabkan penahanan dan deportasi.
Keterangan foto utama: Tujuh pria Rohingya yang dideportasi duduk ketika para pejabat keamanan India dan Myanmar bertukar dokumen sebelum deportasi mereka. (Foto: Reuters)
No comments:
Post a Comment