Pages

Thursday, February 7, 2019

Guru Besar UGM Cornelis Lay : Intelektual Harus Berpijak Pada Kemanusiaan - Gatra

 

Yogyakarta, Gatra.com- Ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya. Justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.

Demikian ungkapan tersebut menjadi bagian penting dari pidato pengukuhan Guru Besar Cornelis Lay, pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gajah Mada (UGM). Cornelis mengambil tema “Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan".

Ia bercerita bahwa UGM merupakan kampus dengan segudang prestasi dan tokoh bangsa. Mulai dari Prof. Mubyarto dengan gagasan Ekonomi Pancasila; Prof. Kuntowijoyo, pionir pendekatan prophetic science–kombinasi ilmu pengetahuan dan agama.

Lalu ada Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, pendekar lingkungan terkemuka dan pionir gagasan Kuliah Kerja Nyata (KKN); sampai Prof. Sudarsono, penggagas Koperasi Unit Desa (KUD). Mereka mengantarkan UGM menjadi kampus cendekiawan.

Di sisi lain, Cornelis menyinggung saat UGM melahirkan kontroversi, yakni ketika puluhan petani dan perempuan Rembang dan Pati melakukan orasi di depan Gedung Pusat UGM. Mereka menuntut penyelamatan Pegunungan Kendeng dari PT Semen Indonesia.

Selain itu ada pula sengketa petani di Desa Pagilaran, Bismo, Kalisari, Keteleng, dan Gondang di Kecamatan Blado, Batang dengan perkebunan teh PT Pagilaran. Cornelis melihat sejumlah kejadian itu sebagai bentuk UGM  tidak lagi berpihak pada rakyat.

“Rangkaian kasus itu merepresentasikan sifat biner pemahaman umum mengenai posisi intelektual dan ilmu pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan dan implikasinya pada pilihan jalan intelektual ke kekuasaan," katanya saat berpidato di Balai Senat UGM, Rabu (6/2).

Menurutnya, ketika ada upaya untuk memisahkan ilmu pengetahuan, intelektual, dan negara, maka akan menutup persinggungan bahkan kolaborasi antara ketiganya. Cornelis mengungkapkan akan susah menemukan sebuah konsep yang baku dalam melihat peran intelektual.

“Karenanya, tidak mengherankan jika persinggungan atau kolaborasi antara intelektual dan kekuasaan dalam banyak kasus, secara cepat dan enteng dihakimi sebagai pengkhianatan,’’ ungkap Cornelis.

Ia menceritakan pengalaman interaksi antara kekuasaan, kaum intelektual, dan ilmu pengetahuan. Terutama ilmu sosial, selama 32 tahun rezim otoritarian Orde Baru (Orba).

Tidak hanya itu, Cornelis menemukan fakta bahwa praktek memposisikan pengetahuan menjadi agenda politik. “Pengalaman traumatik era kolonial membuat ilmu pengetahuan menjadi agenda politik yang menggiring tuntutan ke arah otonomi ilmu pengetahuan dan kaum intelektual dari kekuasaan. Hal ini semakin mengeras dan menjadi agenda politik ilmu pengetahuan," ungkapnya.

Cornelis juga menilai ilmu pengetahuan dan intelektual telah gagal memfasilitasi dialog  antaridentitas yang berbeda. Padahal dialog ini berguna demi menemukan basis dan nilai yang mendasari hadirnya kekuasaan dan ilmu pengetahuan, yaitu kemanusiaan.

“Akibat lebih lanjut, secara politik, intelektual dengan segala pengetahuannya gagal menghasilkan voice (suara-red), kecuali kebisingan yang semakin diperburuk oleh kealpaan saling mendengar. Kecenderungan ini membuat ilmu sosial dan ilmu politik semakin menjauhi fungsi kemanusiaannya," ungkapnya.

Melihat kondisi sosial itu, Kepala Research center fot Politicd and Goverment (PolGov) Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL, UGM ini menawarkan tiga jalan untuk intelektual.

Menurut dia, jalan pertama adalah mendominasi wacana relasi antara intelektual dan kekuasaan. Jalan ini dibangun di atas sikap penaklukkan diri pada kekuasaan dan menempatkan kekuasaan sebagai ruang nyaman bagi intelektual.

Jalan kedua, berangkat dari sikap kepura-puraan, pengabaian atau ketidaktahuan atas kekuasaan. Jalan ini menggandaikan kaum intelektual memiliki kedigdayaan untuk hidup di luar dan terbebas dari jangkauan kekuasaan.

Terakhir, jalan ketiga justru kebalikan dari kedua jalan tersebut, yakni mengharuskan kehadiran intelektual dan ilmu pengetahuan dalam praksis rutin kekuaasan.

“Jalan ketiga ini menekankan sentralitas voluntarisme dalam politik.  Usaha menemukan jalan ketiga ini berangkat dari optimisme saya bahwa 'All Good Things Can Go Together'," ujar Cornelis.

Dari dasar itu pula, Cornelius meyakini bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan tumbuh di atas cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Ia menyadari jalan ketiga bukanlah jalan yang gampang diterapkan.


Reporter: Abdus Somad
Editor: Birny Birdieni

Let's block ads! (Why?)

https://www.gatra.com/rubrik/teknologi/ilmu-pengetahuan/388171-Guru-Besar-UGM-Cornelis-Lay-Intelektual-Harus-Berpijak-Pada-Kemanusiaanhttps://desimpul.blogspot.com/2019/02/guru-besar-ugm-cornelis-lay-intelektual.html

No comments:

Post a Comment