* Setelah Diusul Penghentian oleh Kajati Aceh
BANDA ACEH - Tidak kurang 11 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan computerized tomography scanner (CT Scan) dan kardiologi di RSUZA Banda Aceh tahun 2008 dengan kerugian Rp 15,3 miliar.
Permohonan itu disampaikan lantaran kasus yang selama ini ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh terancam dihentikan. Sebab, sekitar akhir 2018 atau awal tahun ini, Kajati Aceh, Irdam SH MH telah mengusulkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas kasus itu kepada Jaksa Agung, HM Prasetyo.
Surat permohonan pengambilalihan tersebut dikirim oleh LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh dengan nomor 020/B/G-Aceh/II/2019 dan Koalisi Masyarakat Sipil Aceh Hebat tanpa Korupsi yang tergabung dari 10 LSM dengan nomor 010/B/MaTA/II/2019 tertanggal 8 Februari 2019.
Adapun ke-10 LSM itu yaitu Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), LBH Banda Aceh, Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Forum LSM Aceh, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Katahati Institute, Aceh Institute, Yayasan HAkA, dan Komunitas Kanot Bu.
Mernurut para aktivis, usulan SP3 kasus itu terbilang aneh. Sebab, sebelum Irdam menjabat Kajati Aceh pada 12 Oktober 2018, Kajati sebelumnya, Dr Chaerul Amir MH telah menetapkan tiga tersangka baru pada Oktober 2018 atau beberapa hari sebelum dia diganti, setelah ada dua tersangka sebelumnya.
Kelima tersangka itu adalah mantan direktur RSUZA dr Taufik Mahdi SpOG dan mantan kepala Bagian Sublayanan dan Program RSUZA Toni yang ditetapkan 1 Juli 2014. Sedangkan tiga tersangka baru adalah ketua dan sekretaris pelelangan proyek saat itu, SU dan M serta rekanan dari CV Mutiara Indah berinisial B.
Penetapan tersangka baru mendapat apresiasi dari banyak pihak karena kasus yang mulai ditangani tahun 2014 itu sudah lama tidak berjalan. Anehnya, saat pimpinan Kejati berganti, kasus itupun diusul stop dengan alasan para tersangka telah mengembalikan kerugian negara, meskipun kasus tersebut dalam supervisi KPK.
“Jika alasannya karena tersangka sudah mengembalikan kerugian keuangan negera, kemudian Kejati Aceh mengusulkan menghentikan perkara, ini tidak logis dan patut diduga adanya potensi lain yang sarat dengan kepentingan politik,” kata Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung kepada Serambi.
Usulan SP3, katanya, bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan perbuatan dan delik formil dari tindak pidana yang dilakukan para tersangka.
Menurut Hayatuddin, usulan Kejati Aceh menghentikan perkara CT Scan pada RSUZA merupakan sebuah tindakan yang tidak logis dan merendahkan martabat hukum serta mengkebiri hak keadilan bagi pihak lain yang sebelumnya sudah diputuskan bersalah (rasa keadilan dan persamaan di mata hukum).
Hal senada juga disampaikan Koordinator MaTA, Alfian. Selain meminta mengambil alih kasus itu, pihaknya juga meminta klarifikasi kepada KPK terkait penanganan kasus tersebut karena sebelumnya KPK telah mensupervisi.
“Sehingga kasus yang menjadi perhatian masyarakat ini dapat diselesaikan secara hukum,” pungkasnya seraya menyampaikan bahwa pihaknya juga menembuskan surat itu kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung RI.
Secara terpisah, Kasi Penerangan dan Hukum (Penkum) Kejati Aceh, H Munawal SH yang ditanyai Serambi ihwal perkembangan usulan penghentian kasus CT Scan tersebut mengatakan hingga saat ini dia belum mendapat informasi apapun, apakah diterima atau ditolak oleh Jaksa Agung. “Saya belum dapat kabar mengenai hal itu,” katanya singkat. (mas)
http://aceh.tribunnews.com/2019/02/09/kpk-diminta-ambil-alih-penanganan-kasus-ct-scanhttps://desimpul.blogspot.com/2019/02/kpk-diminta-ambil-alih-penanganan-kasus.html
No comments:
Post a Comment