Pages

Sunday, June 9, 2019

Rencana Reformasi Dewan Keamanan PBB yang Kini Tak Lagi Dibicarakan - Mata Mata Politik

Keanggotaan PBB telah berkembang secara dramatis sejak tahun 1945, dari 51 menjadi 193 negara. Sementara itu, ekonomi global telah mengalami perubahan tektonik, terutama dalam 30 tahun terakhir. Penjelasan yang paling jelas untuk sikap diam ini adalah bahwa negara-negara anggota PBB tidak dapat menyepakati tentang apa yang harus dilakukan melalui perluasan Dewan Keamanan.

Oleh: Stewart M. Patrick (World Politics Review)

Baca Juga: Badan PBB untuk Palestina Tolak Rencana Pembubaran oleh AS

Di antara berbagai misteri politik dunia kontemporer, perdebatan tingkat tinggi tentang reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan salah satu topik yang hilang. Keanggotaan PBB telah berkembang secara dramatis sejak tahun 1945, dari 51 menjadi 193 negara. Sementara itu, ekonomi global telah mengalami perubahan tektonik, terutama dalam 30 tahun terakhir.

Ketika Tembok Berlin runtuh tahun 1989, tujuh ekonomi Barat terbesar, dengan tiga di antaranya memiliki kursi permanen di Dewan Keamanan PBB, menyumbang 51 persen dari penghasilan ekonomi global. Saat ini jumlahnya hanya 30 persen. Satu dekade setengah yang lalu, banyak yang bersikeras bahwa DK PBB harus diperluas untuk mempertahankan legitimasi dan efektivitasnya. Sejak itu suara-suara tersebut terus terdiam.

Penjelasan yang paling jelas untuk sikap diam ini adalah bahwa negara-negara anggota PBB tidak dapat menyepakati tentang apa yang harus dilakukan melalui perluasan Dewan Keamanan. Di bawah Piagam PBB, perubahan komposisi dewan memerlukan persetujuan dua pertiga dalam Majelis Umum, ditambah ratifikasi undang-undang yang relevan oleh dua pertiga negara anggota, termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan, yang dikenal sebagai P5. Maka, tidak mengherankan bahwa dewan hanya diperluas sekali, dengan penambahan empat anggota terpilih tahun 1965.

Dorongan serius terbaru untuk ekspansi Dewan Keamanan PBB terjadi di sekitar KTT Dunia PBB tahun 2005. Kampanye yang gagal itu mengungkapkan tiga blok solid di dalam Majelis Umum PBB, perpecahan yang masih bertahan hingga saat ini.

Blok pertama adalah Kelompok 4 atau G4, yang terdiri dari Jepang, Jerman, India, dan Brazil. Selain mencari keanggotaan permanen untuk mereka sendiri, negara-negara G4 mendukung empat anggota tambahan yang tidak permanen, yang akan menghasilkan dewan 23 negara. G4 masing-masing menginginkan veto, tetapi mereka telah menawarkan untuk menunda penggunaannya selama 15 tahun.

Pihak yang menentang upaya G4 adalah koalisi Uniting for Consensus (UFC) yang terdiri dari saingan regional negara-negara G4, Korea Selatan, Italia, Pakistan, dan Argentina, serta negara-negara lain. Tidak mengherankan bahwa UFC lebih suka memperluas keanggotaan bergilir dewan, menyerukan 10 kursi terpilih baru, yang menghasilkan 25 anggota DK PBB. Blok ketiga adalah Uni Afrika yang beranggotakan 54 orang.

Tahun 2005, para pemimpin Uni Afrika mendukung Konsensus Ezulwini, yang mencita-citakan sebuah dewan beranggotakan 26 negara, termasuk enam anggota tetap pemegang hak veto baru dan empat anggota baru yang terpilih. Secara signifikan, Uni Afrika menegaskan bahwa dua anggota tetap baru berasal dari Afrika.

Berkontribusi pada kebuntuan situasi, reformasi apa pun akan membutuhkan persetujuan P5. Prancis dan Inggris, yang tidak diragukan lagi menyadari legitimasi mereka yang semakin berkurang sebagai anggota tetap, telah menyatakan dukungan untuk aspirasi G4. Rusia, sebaliknya, menentang segala bentuk ekspansi DK PBB, yang akan melemahkan kekuatan globalnya.

China, yang sedikit lebih fleksibel, mengusulkan 10 anggota bergilir baru, mempertimbangkan bahwa banyak dari mereka akan menjadi negara berkembang yang bersimpati pada posisi China. China dengan tegas menolak status permanen bagi Jepang dan India.

Amerika Serikat secara retoris tetap terbuka kemungkinan memperluas Dewan Keamanan PBB, tetapi hanya mengambil sedikit tindakan. Di area ini, Presiden AS Donald Trump mengikuti jejak para pendahulunya,  Bill Clinton, George W. Bush, dan Barack Obama yang masing-masing memberikan dukungan retoris untuk ekspansi Dewan Keamanan tetapi menghindari kepemimpinan dalam masalah ini. Mereka beralasan bahwa tujuannya akan sulit untuk dicapai dan akan mempersulit upaya mobilisasi koalisi untuk resolusi tertentu. Belum ada pemerintahan Amerika Serikat yang bersedia mempertimbangkan DK PBB yang terdiri lebih dari 21 anggota.

Di permukaan, mengangkat negara-negara G4 ke keanggotaan permanen tampaknya melayani tujuan AS, karena secara teori, sesama negara demokrasi tersebut akan berpihak secara konsisten kepada Amerika Serikat. Namun demikian, pemungutan suara Jerman atas Perang Irak, dan kadang-kadang posisi yang menjengkelkan dari Brazil dan India ketika mereka terpilih menjadi anggota, menunjukkan kelemahan pemikiran semacam itu.

Merefleksikan kinerja Brazil dan India tahun 2011, Susan Rice, utusan Obama pada waktu itu, menyesalkan bahwa “kita telah belajar banyak dan terus terang tidak semuanya memberikan dukungan.”

Selain suara mereka, calon anggota tetap juga perlu menghadirkan kapasitas yang signifikan untuk mempromosikan perdamaian dan keamanan internasional. Hambatan tiada henti terhadap pencalonan Jepang dan Jerman disebabkan oleh keengganan mereka, karena alasan historis, untuk mengembangkan kemampuan militer yang diperlukan agar mereka menjadi sesama penjamin yang kredibel bagi tatanan dunia. Ketidakmampuan Brazil, militer maupun ekonomi, bahkan lebih parah.

Dari calon G4, India menghadirkan tantangan paling berat untuk komposisi dewan saat ini. Bersiap untuk mengalahkan China tahun 2024 sebagai negara terpadat di dunia, India tumbuh pada kecepatan ekonomi yang intens. India juga mengembangkan kemampuan militer yang sangat penting bagi visi Amerika Serikat tentang “Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.” Saat tren ini berlanjut, tidak adanya keanggotaan permanen India pasti akan merusak legitimasi Dewan Keamanan PBB.

Bulan November 2010, Presiden Obama saat itu mengatakan kepada parlemen di New Delhi bahwa ia “mengharapkan Dewan Keamanan PBB yang direformasi di mana India menjadi anggota tetap.” Namun pemerintahannya gagal untuk menindaklanjuti. Trump tampaknya akan mengikuti langkah Obama tersebut. Setelah bertemu dengan Perdana Menteri India Narendra Modi bulan Juni 2017, Trump “menegaskan kembali dukungan Amerika Serikat untuk keanggotaan permanen India,” menurut komunike bersama saat itu.

Meskipun pemerintahannya sejak itu menegaskan kembali pengesahan ini, tidak ada langkah konkret yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan ini. Sebaliknya, Amerika berfokus mendukung dorongan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk reformasi dalam berbagai bidang lain di PBB.

Dengan tidak adanya bencana global, seperti perang antara sejumlah kekuatan besar, jalan buntu reformasi Dewan Keamanan PBB kemungkinan akan terus berlanjut. Hal ini sebagian karena negara-negara memprioritaskan tujuan-tujuan yang bertentangan dalam mengejar pembesaran. Resolusi Majelis Umum PBB 62/557 tahun 2008, misalnya, mengesahkan peluncuran negosiasi antar pemerintah untuk menjadikan DK PBB lebih “luas secara representatif, efisien, dan transparan” agar dapat “meningkatkan efektivitasnya dan legitimasi serta implementasi keputusannya.” Namun, efektivitas dan legitimasi bukanlah hal yang sama, dan setiap upaya ekspansi Dewan Keamanan dapat memajukan satu hal sembari mengorbankan hal lain.

Bagi negara-negara berkembang, legitimasi Dewan Keamanan PBB bertumpu pada apakah komposisinya, yang dipilih maupun yang permanen, mencerminkan aspirasi dan perspektif keanggotaan global PBB. Negara-negara Afrika, khususnya, keberatan untuk menjadi subjek resolusi dewan di mana mereka memiliki sedikit kesempatan untuk menanamkan pengaruh.

Amerika Serikat dan berbagai negara demokrasi maju lainnya menolak logika ini. Misi utama Dewan Keamanan PBB adalah menjadi efektif, bukan representatif. Dengan pandangan ini, masalah yang relevan untuk ekspansi apa pun, khususnya keanggotaan tetap DK PBB, adalah apakah ekspansi itu akan meningkatkan kemampuan Dewan Keamanan untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan global.

Dengan demikian, calon anggota permanen Dewan Keamanan PBB harus dinilai berdasarkan kriteria objektif. Dalam laporan tahun 2010 untuk Council on Foreign Relations, Kara MacDonald dan Stewart Patrick mengusulkan daftar kriteria potensial: Setiap kandidat harus menunjukkan sejarah stabilitas politik dan, idealnya, demokrasi; militer yang kuat dan kemauan untuk mengerahkannya; kontribusi keuangan yang signifikan untuk anggaran reguler dan pemeliharaan perdamaian PBB; menunjukkan kemauan untuk menggunakan alat-alat penegakan hukum di bawah Bab VII Piagam PBB; kemampuan untuk memimpin dan menengahi tindakan kolektif; staf diplomatik yang memadai; serta rekam jejak dalam mematuhi dan menegakkan rezim keamanan global dan berkontribusi terhadap kebaikan publik global lainnya.

Satu dekade kemudian, kriteria tersebut masih relevan. Sayangnya, saat ini masih belum dilakukan diskusi yang bermakna tentang reformasi Dewan Keamanan PBB.

Baca Juga: AS Kecam Rapat DK PBB yang Dipimpin Indonesia soal Palestina

Stewart Patrick adalah peneliti senior James H. Binger di Council on Foreign Relations dan penulis buku The Sovereignty Wars: Reconciling America with the World (Brookings Press: 2018). 

Keterangan foto utama: Anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa berkumpul untuk pertemuan mengenai Suriah di Markas Besar PBB di New York, 30 April 2019. (Foto: AP/Kathy Willens)

Rencana Reformasi Dewan Keamanan PBB yang Kini Tak Lagi Dibicarakan

Let's block ads! (Why?)

https://www.matamatapolitik.com/analisis-rencana-reformasi-dewan-keamanan-pbb-yang-kini-tak-lagi-dibicarakan/https://desimpul.blogspot.com/2019/06/rencana-reformasi-dewan-keamanan-pbb.html

No comments:

Post a Comment