Oleh Sujarwo
Wartawan Tribun Jateng
JALANn sehat, sudah jelas, agar badan sehat. Salah satu pengejawantahan ungkapan Latin: Mens sana in corpore sano. Ungkapan mahakarya sastra dari seorang pujangga Romawi, Decimus Iunius Juvenalis (abad kedua Masehi) ini berarti dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Jiwa sehat membuat layak disebut orang kuat. Bukan kuat karena lama berkuasa, bukan pula karena badan kuat, pintar bergulat maupun bersilat. Jiwa yang kuat itu mempu membuat cara agar hati, pikiran dan badan tahan menghadapi tekanan.
Tapi, duh...lagi-lagi terjadi di negeri ini, aksi penolakan jalan sehat bak sedang “ngetren”. Paling tidak dua kali terjadi di Solo. Aneh, jika dipikir lugas. Ironis jika sadar sejarah. Ingat, Pekan Olahraha Nasional (PON) pertama digelar di Solo, pada 9–12 September 1948. Tanggal pembukaannya, 9 September, kemudian diperingati sebagai Hari Olahraga Nasional.
Lihat saja, aksi penolakan menjelang jalan sehat pada Minggu (30/9/2018) yang mengambil rute Jalan Slamet Riyadi Solo yang biasa dijadikan event Car Free Day (CFD) Solo setiap Minggu. Even itu sendiri dihadiri Presiden Jokowi, incumbent Pilpres 2019.
Juru bicara elemen yang menolak jalan sehat itu, beralasan karena bermuatan politik, berpotensi mengganggu keamanan, dan ketenteraman warga. Dan, di hari H acara itu Jokowi memang hadir, tapi jalan sehat akhirnya urung digelar, diganti doa bersama untuk para korban gempa.
Sebelumnya, bertepatan Hari Olahraga Nasional, sejumlah elemen menolak Jalan Sehat Umat Islam 2018, menghadirkan Ahmad Dhani dan Neno Warisman di Lapangan Kota Barat Solo. Alasan mereka sama, bermuatan politik yang dapat mengganggu ketenteraman di kota ini. Sekadar tahu saja, penyelenggara dan tokoh yang hadir di acara ini lebih dikenal sebagai pendukung Prabowo, salah satu capres.
Kalau demikian, kesan harafiahnya, jalan sehat ditolak karena bermuatan politik, berarti politik itu ‘tidak sehat’. Lebih dari itu, makna di baliknya, ada harapan politik sehat di negeri ini. Harapaan yang di selanya masih saja ada cara berpolitik tak sehat dipraktikkan. Semisal heboh kebohongan Ratna Sarumpaet atas rekayasa kasus penganiayaan.
Sebelumnyaia membuat pengakuan dirinya berbohong dianiaya di Bandung pada 21 September 2018, dan polisi sudah menerima tiga laporan. Bila benar hoax, pelaku penyebar harus diusut. Kasus ini, lantaran Ratna kebetuilan jurkam salah satu capres, berpotensi mengundang spekulasi adanya praktik politik tak sehat. Kendati Ratna sudah mengklarifikasi bahwa itu karena kebodohannya sendiri dan ia sesali.
Terlepas dari kasus Ratna yang belum kelar, cara berpolitik tidak sehat memang sering kali melahirkan tipikal kepemimpinan yang hanya mengandalkan pencitraan yang jauh dari sikap idealisme yang tinggi. Tidak memiliki rasa keberpihakan kepada rakyat. Padahal tujuan dari berpolitik tidak lain adalah untuk menentukan nasib rakyat dan stabilitas masyarakat menjadi lebih baik. Mengutip Andan Topan, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menjadi sebab utama berkembangnya korupsi di Indonesia adalah persaingan politik yang tidak sehat. Khususnya dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada. (*)
http://jateng.tribunnews.com/2018/10/05/tajuk-politik-tak-sehathttps://desimpul.blogspot.com/2018/10/tajuk-politik-tak-sehat.html
No comments:
Post a Comment