TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary Herwati menyoroti penyelesaian konflik agraria di era pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla yang dianggap tidak maksimal.
Baca juga: Tak Atasi Konflik Agraria, Jokowi Disebut Seperti Orde Baru
Berdasarkan data yang dihimpun YLBHI, konflik agraria meningkat sejak 2017 hingga 2018. "Kenapa? Karena pertama, tidak ada penyelesaian konflik agraria secara menyeluruh," ucap Rakhma di kantornya, Jakarta Pusat, pada Selasa, 8 Januari 2019.
Rahkma mengkategorikan konflik agraria menjadi beberapa tipe. Salah satunya adalah konflik agraria masa lalu yang disebabkan karena pemberian izin di bidang tambang, kehutanan oleh pemerintah kepada pemilik modal, yang merampas tanah petani atau masyarakat adat.
Karena masyarakat adat atau petani ini, tak sedikit yang tidak mengenal sertifikat kepemilikan tanah. Sehingga, ketika mereka melapor kepada aparat keamanan, mereka tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan tanah.
Alhasil, kata Rakhmi, justru para warga yang dikriminalisasi. Dari sisi pemerintah pun, Rakhma menilai, mereka cenderung menyerahkan penyelesaian masalah kepada perusahaan sebab pemerintah tidak mau memberikan lahan yang masih berkonflik kepada masyarakat jika perusahaan tidak rela.
"Jadi harus berdasarkan kerelaan perusahaan. Sementara tidak ada perusahaan yang rela menyerahkan tanah itu. Makanya konflik tidak selesai," ucap Rakhma.
Presiden Jokowi mengakui konflik agraria di Indonesia masih sangat tinggi. Jokowi sudah membuktikan, setiap ia kunjungan kerja ke daerah, masyarakat setempat pasti mengeluhkan konflik lahan tersebut.
“Namun bila 80 juta sertifikat tanah tersebar, konflik agraria selesai,” ujarnya saat menyerahkan 5.534 sertifikat tanah kepada warga Provinsi Sumatera Selatan di PSCC Palembang, Senin, 22 Januari 2018.
Baca juga: Darmin: Reforma Agraria Tak Sekedar Bagi Tanah Tapi Sekaligus ..
Rakhma mengatakan, solusi yang ditawarkan pemerintah itu adalah melakukan sertifikasi terhadap tanah masyarakat itu sendiri. Bukan tanah hasil penyelesaian konflik, tanah sengketa, dan tanah negara yang diminta oleh masyarakat.
"Itu bukan reforma agraria," ujar Rakhma. Sebab, yang disebut reforma agraria sejatinya adalah dimulai dari penyelesaian konflik berdasar hak masyarakat. Ketika hak tanah itu dicabut izinnya dan menjadi tanah negara bebas, baru lah pemerintah mendistribusikan kembali tanah tersebut kepada masyarakat.
Konflik agraria sendiri tercatat masih terjadi di sejumlah daerah. Sebut saja seperti di Aceh, Padang, Palembang, Pekanbaru, Jawa, dan daerah lainnya di Indonesia.
https://nasional.tempo.co/read/1162861/ylbhi-sebut-penyelesaian-konflik-agraria-era-jokowi-tak-maksimalhttps://desimpul.blogspot.com/2019/01/ylbhi-sebut-penyelesaian-konflik.html
No comments:
Post a Comment