Repost Ekonomi juraganluempang.blogspot.com
JAKARTA — Sanksi pidana dinilai perlu diatur dalam RUU Perkoperasian. Aturan mengenai pidana penting diterapkan agar ada sanksi hukum tegas bagi koperasi yang melanggar dan merugikan masyarakat.
Akademisi Universitas Brawijaya (Unibraw) Herman Suryokumoro mengatakan, koperasi merupakan bentuk badan hukum usaha yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Sebagian besar usaha di koperasi berbentuk koperasi simpan pinjam atau usaha simpan pinjam (KSP/USP).
"Banyak terjadi penyimpangan dalam praktik berkoperasi dalam kegiatan usaha KSP/USP yang merugikan masyarakat. Saya berkesimpulan, pengaturan sanksi pidana sudah saatnya ada dan urgen untuk dilakukan karena memang koperasi sendiri harus sesuai dengan amanat konstitusi," katanya, Rabu (20/12/2023).
Herman melanjutkan, kondisi mayoritas koperasi di Indonesia sebagian besar, bahkan hampir 100 persen melakukan bisnis di sektor USP. Meski kondisi riil di lapangan, bisnis USP koperasi sedang anjlok.
"Mengapa? Karena harus bersaing dengan perbankan. Dalam perkembangannya, kejahatan keuangan dilakukan dan digerakkan oleh oknum berbaju koperasi," tutur dia.
Dirinya menuturkan, saat bulan puasa, ramai pemberitaan soal penggelapan dana koperasi yang dilakukan oleh manajer atau pengurus koperasi. Sejumlah kasus koperasi di Tanah Air berimbas terhadap industri koperasi secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kata dia, sudah saatnya ke depan diatur sanksi lebih tegas, kepastian hukum, dan jaminan bagi para anggota masyarakat. Itu karena masih ada KSP yang melayani non-anggota, membuat potensi kerugian di masyarakat pun lebih luas
Herman menegaskan, beberapa pokok pengaturan sanksi pidana koperasi juga sudah diatur dalam UU Perkoperasian sebelumnya, yakni UU Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi, UU Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian, UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.
Kemudian, UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi, UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, dan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi sampai sekarang.
Dalam RUU Perkoperasian yang baru nanti, Herman mengusulkan agar tetap mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang dinilainya masih sesuai dengan kondisi saat ini.
"Hanya sebagian kecil pasal-pasalnya yang perlu disesuaikan, oleh karena itu kami mengusulkan agar menggunakan undang-undang tersebut, tetapi dengan meng-update perkembangan-perkembangan terakhir, sehingga RUU Perkoperasian ini lebih luwes dan ramping," ujar dia.
Ia juga mengusulkan agar RUU Perkoperasian mengatur hanya hal-hal pokok dan substantif terkait dengan aspek jati diri, organisasi, permodalan, tata kelola, usaha, peran pemerintah, serta ketentuan pidana dalam kehidupan koperasi Indonesia.
Kemudian, beberapa hal yang bersifat teknis diatur dalam petunjuk pelaksanaan atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga atau peraturan internal koperasi. Ketentuan yang mengatur organisasi dan usaha koperasi, sebagaimana dimaksud huruf (a) dijaga agar tidak bertentangan dengan ketentuan regulasi yang sudah ada (seperti yang sudah diatur dalam UU 11/2020 yang diubah dengan PERPU 2/2022).
Selanjutnya, diusulkan juga tidak mengulang atau mengangkat kembali ketentuan yang telah dibatalkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi No.28/PUU-XI/2013.
Herman turut menyoroti tentang pembagian jenis koperasi menjadi close loop maupun open loop berdasarkan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), pengawasan dibagi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Saya setuju koperasi open loop diperiksa oleh OJK. Terus terang saja, kalau koperasinya benar, kenapa harus takut dengan OJK? Justru mereka yang menolak yang patut dipertanyakan," katanya.
Meski begitu, Herman menekankan, jika koperasi ingin lebih mandiri, pengawasan koperasi sebaiknya hanya dilakukan dalam jenis close loop. Hal ini agar pengawasan sepenuhnya dalam Kementerian Koperasi dan UKM.
Sementara itu, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah mada (UGM) sebelumnya mengusulkan agar ada Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi (LPK) dinilai mendesak. Sejalan dengan itu, pembahasan RUU Perkoperasian harus segera dirampungkan.
Pengamat Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Revrisond Baswir menjelaskan, kehadiran lembaga pengawas usaha simpan pinjam koperasi merupakan kebutuhan mendesak. Bukan hanya bagi Kementerian koperasi dan UKM (Kemenkop), tetapi bagi seluruh gerakan koperasi di Indonesia.
“Pembentukan lembaga tersebut akan menjadikan industri usaha simpan pinjam koperasi menjadi lebih kokoh dan sehat," katanya.
Revrisond mengatakan, lembaga tersebut akan berperan besar dalam memberi arah pengembangan industri usaha simpan pinjam yang lebih jelas. Menurut dia, reformasi usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia bukan kerja semalam. “Untuk menata kembali industri simpan pinjam, harus dibuat peta jalan yang jelas ke mana arahnya, sehingga tidak tambal sulam," tutur dia.
Revrisond menekankan, sebagai perbandingan, rasio jumlah pelaku dan anggota di tingkat global adalah satu banding 3.000. Artinya satu KSP melayani 3.000 anggota.
Dari data yang ada, Indonesia baru mencapai rasio satu banding 500. Hal itu jauh dari rata-rata global sehingga ia berharap lembaga tersebut bisa mendorong konsolidasi usaha simpan pinjam sebagaimana pengalaman di Kanada yang berhasil mengonsolidasikan ribuan koperasi, yang saat ini menjadi 458 koperasi kredit.
Sebagai pembanding, sama seperti yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dengan mengonsolidasi pelaku keuangan di Tanah Air. Ia menggambarkan, saat ini ada lebih dari 18 ribu KSP dan puluhan ribu unit USP.
Akademisi UGM tersebut mendesak agar DPR RI secepatnya merampungkan pembahasan RUU Perkoperasian. Menurut dia, tidak mungkin mereformasi koperasi di Indonesia secara sistemik tanpa mereformasi regulasinya.
“Koperasi ini entitas yang disebut dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33. Maka harus menjadi concern para legislator," tegas dia.
Deputi Perkoperasian Kemenkop Ahmad Zabadi menyambut baik gagasan Revrisond yang bisa memperkaya substansi RUU Perkoperasian mendatang. "Betul, jumlah pelaku usaha simpan pinjam yang banyak itu menjadi tantangan dalam pengawasannya. Konsolidasi usaha kita dorong melalui merger atau amalgamasi," ujar dia.
Zabadi mengatakan, hal tersebut akan lebih efektif dengan adanya Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi. Selain itu, pemberian izin usaha simpan pinjam yang terpusat di lembaga itu, dapat menyaring mana koperasi yang didirikan berbasis nilai dan prinsip koperasi, dan mana yang hanya memanfaatkan badan hukum koperasi.
Berkaca pada sebelumnya, banyak pelaku industri keuangan masuk ke usaha simpan pinjam, dengan memanfaatkan loop hole dari kemudahan perizinan serta lemahnya pengawasan di koperasi.
"Maka, dengan adanya lembaga tersebut, pengawasan akan makin efektif, dan menghilangkan arbitrase regulasi dalam pengawasan simpan pinjam dengan industri keuangan," tuturnya.
Kemenkop, lanjut dia, akan mendesain agar lembaga ini benar-benar menjadi ujung tombak purifikasi atau pemurnian usaha simpan pinjam koperasi di Indonesia. Itu sesuai jati diri koperasi.
Adblock test (Why?)
RUU Perkoperasian Perlu Atur Sanksi Pidana
Sumber Eknomi