MUI Papua Barat menilai pasal-pasal dalam Perda Manokwari Kota Injil rawan menimbulkan konflik sosial.
Di antaranya pasal 14 yang mengatur aktivitas publik. Ia menilai aturan ini rancu karena seolah ada pemaksaan bagi umat Islam untuk tidak melakukan apa-apa pada hari Minggu.
“Lalu kenapa harus semua orang pada hari Minggu atau hari raya orang Kristen harus menghentikan kegiatan? Orang lain, kan, tidak ada hubungannya dengan hari raya orang Kristen,” kata Nausrau.
Selain itu, ada pasal yang samar-samar. Sebab, pada akhirnya perlu dibuat aturan lebih mendetail lewat peraturan bupati. Ini yang membikin MUI bertanya-tanya. Bagaimana bila kebijakan itu justru nantinya mendiskriminasi umat non-Kristen?
Pasal yang paling dikhawatirkan Nausrau tentang pendirian rumah ibadah, yang berpotensi bikin susah mendirikan masjid di Manokwari.
Untuk itu, Nausrau membentuk tim telaah di MUI. Tim itu sudah bertemu dengan Bupati Manokwari dan menyampaikan masukan terkait Perda Manokwari Kota Injil.
Berikut wawancara dengan Ahmad Nausrau pada 13 Desember 2018 di Manokwari.
Bagaimana pandangan MUI terhadap Perda Manokwari Kota Injil?
Bagi MUI Papua Barat dan masyarakat Islam Papua Barat memang cukup terkejut dengan lahirnya perda ini karena memang MUI tidak pernah dilibatkan. Karena mestinya, lahirnya sebuah perda harus dikonsultasikan dulu ke MUI. Saya tidak tahu apakah proses itu sudah dilalui atau tidak, tapi di Papua Barat tidak dilibatkan. Kami tidak tahu prosesnya itu.
Kami baru tahu dan dapat informasi dari kawan-kawan di DPRD Manokwari bahwa mereka pernah dialog dengan Pak Bupati, saat itu masih raperda. Ketika itu Pak Bupati menyampaikan perda ini diusulkan oleh teman-teman gereja.
Gereja mana yang mengusulkan?
Gereja-gereja di Manokwari.
Setahu anda, bagaimana pandangan gereja?
Semua gereja [di sini] mendukung. Terutama dipelopori oleh Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP). Ketuanya Pendeta Sherly Parinussa. [Dia] dan pendeta-pendeta lain mempelopori itu.
Sesungguhnya, bagi umat Islam, apa pun nama perda, kita ini ada dalam wilayah NKRI. Tidak boleh ada satu aturan yang kemudian mendiskriminasikan kelompok agama manapun di seluruh wilayah NKRI. Karena itu, kami memandang jika perda itu tidak bersifat diskriminatif, tidak mendiskriminasikan umat lain, ya silakan. Kalau itu dikhususkan untuk umat Kristiani, ya kami tidak mempersoalkan.
Memang judul dari Perda ini menimbulkan kesan yang diskriminatif. Namanya Perda Manokwari Kota Injil terkesankalau ini kota daerah Injil, maka yang lain tidak diberi ruang.
Nah, Islam dengan mayoritas penduduk di Indonesia tidak pernah membuat perda atau aturan yang menyebut perda Alquran. Yang ada di Aceh itu adalah perda syariat. Bukan perda Alquran.
Ketika ini sudah disahkan, MUI Papua Barat membentuk tim untuk menelaah. Bagi MUI, ada beberapa poin dalam perda ini yang berpotensi menimbulkan multitafsir. Di samping juga rawan menimbulkan konflik sosial.
Apa saja pasal-pasal yang multitafsir itu?
Misalnya, dalam bagian ketiga penataan aktivitas publik pada pasal 14. Di situ pada poin pertama disebutkan setiap umat Kristen dilarang melakukan aktivitas bisnis perdagangan dan atau sejenisnya pada hari Minggu atau dan hari raya orang Kristen dari jam 06.00 sampai jam 13.00 kecuali kegiatan peribadatan atau pelayanan ibadah. Kami tidak masalah karena pasal ini khusus untuk orang Kristen.
Yang jadi masalah: ayat kedua setiap orang dan atau badan yang berdomisili di daerah wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi atau mengganggu umat Kristen melaksanakan ibadah pada hari Minggu atau pada hari raya orang Kristen.
Nah ini batasan mengganggu ini apa? Lalu kenapa harus semua orang pada hari Minggu atau hari raya orang Kristen harus menghentikan kegiatan?
Karena itu secara umum secara normatif orang sudah saling menghargai dalam konteks kerukunan umat beragama. Orang sudah tahu pada hari Minggu orang Kristen melakukan ibadah. Orang sudah pasti tidak akan melakukan hal yang mengganggu. Lalu di sini semua orang dilarang untuk tidak bisa beraktivitas. Ini, kan, rancu dan berpotensi menimbulkan konflik.
Misalnya, kalau ada orang azan pada pukul 12.15 waktu zuhur pada hari Minggu dengan pengeras suara, apakah itu nanti akan dilarang? Atau, misalnya, tahun baru Islam yang bertepatan pada hari Minggu, biasanya ada kegiatan—ada jalan pagi tablig, takbiran atau maulid ... Kalau itu nanti disebut sebagai aktivitas yang mengganggu, dihentikan. Saya khawatir kalau itu.
Perda itu dibuat untuk menata masyarakat supaya tata kelola pemerintahan dan tata aturan kehidupan bermasyarakat jadi lebih baik dengan hadirnya perangkat peraturan. Kalau perangkat ini justru menjadikan sebuah konflik, jadi penyebab terjadi diskriminasi, ini berbahaya.
Lalu, pada ayat ketiga, misalnya, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dan ayat 2 diatur dengan peraturan bupati.
Sampai sekarang kami tidak tahu bagaimana peraturan bupati itu, bagaimana bentuknya, apa isinya. Kalau nanti yang membuat punya sentimen terhadap umat Islam, wah, ini jadi masalah, akan berpotensi melahirkan konflik.
Pandangan anda soal kondisi masyarakat di Manokwari dan pasal-pasal apa saja dalam Perda yang "berpotensi melahirkan konflik" itu?
Semua berjalan biasa saja, aktivitas masyarakat seperti di tempat lain. Memang pada hari Minggu kebanyakan toko tutup, tetapi untuk pasar beraktivitas seperti biasa. Perda ini menjadi sesuatu yang rancu karena membatasi mengatur ruang publik yang sebetulnya tidak ada kaitan dengan aktivitas ibadah orang Kristen.
Misalnya, pada pasal 17 soal peran serta masyarakat, disebutkan bahwa setiap orang Kristen dapat berperan serta dalam penyelenggaraan dan penataan Manokwari daerah Injil. "Peran serta masyarakat" ini seperti apa? Ini juga kami enggak tahu.
Kemudian ada [pengaturan] simbol-simbol. Jadi pada bagian kedua, pada penataan aksesoris dan simbol, disebutkan pasal 13 bahwa kegiatan penataan aksesoris dan simbol diselenggarakan dengan memperhatikan nilai-nilai sejarah budaya adat istiadat dan kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat, terutama masyarakat asli dan penduduk Manokwari yang menganut agama Kristen.
Ini terlalu generalisir karena penduduk asli Papua juga banyak yang muslim, apalagi di wilayah Papua Barat. Misalnya di Fakfak, Kaimana, Bintuni, Raja Ampat—itu daerah-daerah Islam. Di Sorong Selatan, penduduk asli Papua mayoritas muslim.
Pada ayat 2 disebutkan simbol yang dimaksud pada ayat 1 memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal dilaksanakan melalui pembangunan dan pemeliharaan situs sejarah.
Kalau soal situs, ya sudah itu memang urusan mereka. Tapi, misalnya simbol-simbol publik kalau di tempat-tempat umum harus dipasang salib, kantor kantor pemerintah di pasang salib—itu harusnya netral, harus bersih dari simbol-simbol agama. Kalau salib ditaruh kantor pemerintah, ini kan berpotensi menimbulkan konflik.
Karena itu kami sudah membentuk tim telaah dan tim ini sudah bertemu dengan bupati, menyampaikan keberatan atas sejumlah pasal dalam perda ini untuk kemudian dilakukan revisi lagi. Karena berpotensi kalau ini diterapkan bisa menimbulkan dampak sosial.
Pada 2005 ada penolakan terhadap rencana pembangunan masjid raya Manokwari. Itu janji kampanye dari wakil gubernur Papua Barat, Rahimin Katjung...
Ya, betul. Memang Pak Rahimin Katjung. Di Papua Barat, penduduk muslim itu relatif besar seimbang. Karena itu, di dalam pesta demokrasi, selalu gubernurnya itu Kristen, wakilnya muslim.
Sekarang bagaimana rencana masjid raya Manokwari?
Ketika itu ada wacana membangun masjid raya tahun 2005. Ketika itu teman-teman mengacu peraturan pemerintah di semua daerah wajib ada masjid raya untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota masjid agung. Kemudian diusulkan untuk dibangun masjid raya. Bahkan ketua panitianya Pak wakil gubernur.
Namun, ketika mendapatkan tantangan, hambatan-hambatan dari umat Kristiani di Papua secara umum, bahkan didemo, akhirnya dengan mempertimbangkan kondisi keamanan itu, [rencana ini] tidak ditindaklanjuti.
Saat itu proses pembangunan sudah sampai mana?
Tanahnya sudah ready, sekitar 4 hektare. Sudah dibersihkan juga lahannya, alat berat sudah melakukan penataan, diratakan lokasinya. Namun, setelah alat itu turun dan mendapatkan penolakan dan demo, diputuskan untuk mengalah dan menghentikan itu.
Kembali dalam konteks Raperda Manokwari Kota Injil, dalam pasal 15, misalnya ada sesuatu yang sebetulnya tidak pas. Setiap orang badan hukum atau lembaga keagamaan yang berkehendak membangun sarana peribadatan atau sarana pendukung peribadatan atau yang sejenisnya wajib memperoleh izin dari pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ini tidak perlu. Ini kan pasal mubazir. Karena terkait pendirian rumah ibadah sudah diatur dalam SKB 3 Menteri tahun 2006, sehingga tidak perlu lagi diatur dalam perda. Apakah perda ini lebih tinggi dari peraturan menteri?
Kami menilai, kalau ini diterapkan, akan mempersulit pendirian masjid.
No comments:
Post a Comment